Bunda,hati hati dengan stress...ternyata hal ini bisa memicu kita untuk berperilaku buruk terhadap anak kita...semoga info dari majalah Ummi ini bisa bermanfaat yaaa
Stres adalah sesuatu yang pasti terjadi di dalam kehidupan manusia normal. Namun, stres bisa memberikan dampak yang berbeda pada tiap-tiap orang. Hal ini tergantung pada bagaimana seseorang menangani stres yang dialaminya. Berdasarkan cara menangani stres yang dialami, stres dibagi menjadi dua macam, yakni eustress dan distress.
Eustress adalah bentuk stres yang memunculkan motivasi, memantik semangat, dan mendongkrak produktivitas. Misalnya, seorang pelajar yang merasa tertekan ketika hendak menjalani ujian akhir. Rasa tertekan yang dialaminya (stres) itu disebut eustress bila karenanya ia menjadi fokus, semangat belajar, dan ia melakukan persiapan yang matang untuk menghadapi ujian. Tapi kalau akhirnya disebabkan oleh rasa tertekannya itu ia menjadi merasa tidak berdaya, menyalahkan keadaan, dan menjadi pasif, rasa tertekan yang demikian ini disebut distress.
Yang berbahaya di antara kedua bentuk stres ini tentu saja adalah distres. Tidak hanya berbahaya bagi diri sendiri, tapi juga membahayakan bagi orang lain. Distress menjadikan seseorang berupaya untuk mencari pelarian dari stres yang dialaminya. Ia tidak akan berpikir panjang untuk mencari solusi, tapi yang akan dilakukannya adalah berusaha mencari tempat untuk melimpahkan tanggung jawab. Biasanya kepada orang yang lebih lemah dibanding dirinya.
Seorang atasan yang sedang mengalami stres disebabkan suatu permasalahan, misalnya ia tidak bijak mengelola stresnya itu (distress), maka yang dilakukannya adalah mencari cara agar yang bertanggungjawab atas permasalahan itu adalah bawahannya. Dengan demikian, ia merasa telah berhasil menyelamatkan posisinya.
Barangkali tindakan bersifat halus seperti ini lebih ringan daripada tindakan kekerasan secara fisik. Ini tidak mustahil terjadi. Orang yang kerap menyalahkan lingkungannya ketika mengalami stres, ia akan mencurahkan amarahnya kepada siapa saja atau apa saja yang dianggap tidak berbahaya. Nah, yang demikian inilah yang terjadi pada orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap anak.
Anak merupakan korban pelampiasan amarah yang paling sering terjadi. Ada orangtua yang mengalami distress disebabkan oleh beban ekonomi yang melilit leher, lalu anaknya menjadi korban kekerasan fisik. Ada pula kakek yang tak mampu berbuat apa-apa menghadapi gejolak syahwatnya, lantas yang menjadi korban adalah anak. Bila diteruskan, kita akan mendapati masih banyak lagi tindakan-tindakan kekerasan yang mengiris hati. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak seperti inilah yang belakangan marak terjadi. Oleh sebab itu, kita harus menaruh perhatian yang besar dalam hal ini.
Satu solusi yang sangat berpengaruh untuk mengatasi permasalahan ini adalah kearifan individual. Sebab sedari awal, penyebab timbulnya distress adalah krisis kearifan. Dan kearifan adalah kekayaan individual. Kearifan—atau yang lebih sering kita sebut kebijaksanaan—bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Tapi kebijaksanaan lahir dari proses pembelajaran. Ia saudara kembar dari kedewasaan. Malangnya, kedewasaan kerap kali dinilai dari usia. Padahal, usia tidaklah berbanding lurus dengan kedewasaan.
Lalu, bagaimana bentuk kebijaksanaan dalam mengelola stress? Inilah yang akan kita bincangkan kali ini. Semoga catatan sederhana ini membawa manfaat bagi kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
1. Ketenangan jiwa
Dari sinilah semuanya berawal. Jiwa yang tenang menjadikan seseorang tetap terkendali. Sebaliknya, jiwa yang tidak tenang menjadikan pikiran dan tindakan carut-marut. Memang, ketenangan jiwa ini sangat mahal. Tidak mudah memilikinya. Namun, tentu saja sulit tidak berarti mustahil.
2. Kelembutan sikap
Ini buah dari ketenangan jiwa. Orang yang jiwanya tenang, sikapnya akan menjadi lembut; tindakan-tindakannya terkendali, amarahnya tidak mudah tersulut, dan tidak pula mudah terpancing untuk melakukan kekerasan.
3. Pemikiran solutif
Bila diibaratkan sebuah bunga, maka ketenangan jiwa adalah tanah subur tempatnya bertumbuh, kelembutan jiwa bagaikan batangnya, dan bunganya adalah pemikiran yang solutif.
Sahabat Ummi, sejatinya tiga hal ini adalah buah dari konsep SQ, EQ, dan IQ yang biasa kita kenal. Sekarang masalahnya adalah bagaimana cara mengasah ketiga hal ini, sebab sering kali pengetahuan hanya sekedar pengetahuan. Tidak ada upaya untuk merealisasikannya. Padahal, pengetahuan tanpa realisasi tidak bermanfaat sama sekali.
1. Kecerdasan spiritual (SQ)
Ini didapat dari pengamalan agama yang serius. Ketaatan mengamalkan nilai-nilai agama menjadi akar yang menumbuhkan kecerdasan spiritual, sebab memunculkan self-control yang berhubungan dengan tanggung jawab terhadap Tuhan.
2. Kecerdasan emosional (EQ)
Ada beragam pendapat dari para ahli tentang bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk menghidupkan kecerdasan emosional. Tapi yang paling umum adalah membiasakan diri untuk berempati pada berbagai kesulitan yang menimpa orang lain. Hal ini untuk meleburkan egoisme (aku-diri), lalu menggantinya dengan solidaritas (aku-sosial).
3. Kecerdasan intelektual (IQ)
Hal ini didapatkan dari proses belajar terus-menerus. Kecerdasan intelektual bertumbuh seiring dengan besarnya semangat untuk memperkaya khazanah, memperluas wawasan, dan pikiran yang terbuka.
Demikianlah beberapa hal yang bisa kita upayakan untuk mencapai kebijaksanaan dalam menghadapi stres. Ini sangat penting untuk dimiliki sebab akan berpengaruh besar pada kehidupan kita. Sekali lagi, saya berharap semoga catatan sederhana ini membawa manfaat bagi kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Mhd Rois Almaududy adalah seorang penulis muda buku-buku pengembangan diri Islami.
Artikel terkait:
0 komentar:
Post a Comment