Hmmm....benar benar prihatin dengan pemberitaan semakin maraknya pelecehan seksual terhadap anak anak di Indonesia...moga info ini bermanfaat buat Bunda....Mulai detik ini benar benar kita jaga dan perhatikan buah hati kita di dalam maupun di luar rumah...Harus!!!!!...W@aspada!!!....
DALAM sebulan terakhir ini, kita disibukkan dengan berbagai kejadian
baik dari dalam dan luar negeri. Sultan Brunie dikecam dunia
internasional sebagai homophobic karena menerapkan hukum syari’at yang
tegas menindak penyimpangan seksual. Sementara di Indonesia kita
dikagetkan dengan kasus pelecehan seksual terorganisir di JIS dan
puluhan korban anak-anak akibat perilaku menyimpang seorang Andri Sobari
alias Emon.
Ketiga fenomena ini memiliki benang merah karena terhubung dengan
satu isu yaitu penyimpangan seksual. Ketika Sultan Brunei di bully
karena berani menghukum tegas pelaku penyimpangan seksual, Indonesia
sudah lebih dulu merasakan pahitnya menjadi korban penyimpangan
tersebut.
Uniknya, walau ancaman dan kerusakan yang ditimbulkan akibat
penyimpangan ini sudah terlihat jelas. Aktivis liberal lewat berbagai
jaringannya disaat yang sama justru makin gencar mengampanyekan isu-isu
kebebasan lesbian, gay, bisesksual, dan transgender (LGBT). Di
Universitas Indonesia sempat akan diadakan seminar bertajuk “Homopedia”.
Sementara di Universitas Negeri Jakarta, seminar tentang LGBT dalam
prespektif sosiologi digelar dengan hanya melibatkan pembicara liberal
dan pro LGBT.
Manuver aktivis liberal dan LGBT ini dapat diduga merupakan trik
“cuci tangan” dan pengelabuan publik agar masyarakat memisahkan antara
perkara kriminal dan perkara penyimpangan seksua;. Padahal sudah jelas
fakta lapangan menunjukkan keterkaitan erat antara perilaku penyimpangan
dengan aktivitas kriminalnya.
Walau sama-sama bentuk penyimpangan seksual, para aktivis liberal dan
LGBT berusaha memutus keterkaitan antara pelaku homoseksual, lesbian
dan transgender dengan pelaku pedophilia. Padahal dalam sejarahnya,
terutama di barat, penyimpangan-penyimpangan ini memiliki keterkaitan
yang erat satu sama lainnya.
Penyimpangan Seksual di Barat: Sejak Yunani Kuno hingga Renaissance
Barat modern saat ini mengakui dengan terbuka bahwa peradaban mereka
berakar dari Yunani kuno. Walau tumbuh sebagai peradaban yang cukup
mapan di zamannya, kehidupan Yunani kuno penuh dengan skandal. Skandal
ini tidak hanya terjadi di kalangan manusia, tapi juga pada dewa-dewa
sesembahan mereka.
Dalam kisah mythology yang diabadikan hingga kini, disebut bahwa
Zeus, patron dewa-dewa Yunani, sampai rela menjelma menjadi elang untuk
menculik Ganymede, bocah pengembala domba dari kota Troy yang terkenal
dengan ketampanannya. Sebuah perilaku yang untuk ukuran zaman sekarang,
dapat disamakan dengan tindakan homoseksual dan pedophilia.
Mythology Zeus dan Ganymede hanyalah fragment kecil dari kebiasaan
tercela Yunani. Para Tutor (guru) di zaman tersebut, lazim melakukan
pelecehan terhadap murid laki-laki dengan dalih “menyiapkan mereka
menjadi dewasa”. Gymnasium Yunani, tempat umum untuk berolahraga, adalah
tempat yang marak dimana pria-pria dewasa melecehkah pemuda dan
anak-anak.
Romawi sebagai penerus peradaban Yunani memiliki track record yang
tidak kalah bejat. Festival Lupercalian adalah contoh yang membuktikan
bahwa dalam urusan seks, Romawi hampir tidak memiliki batas. Maka tidak
heran jika homoseksual merupakan hal umum di Romawi, baik di kalangan
masyarakat biasa maupun para pejabat.
Saking maraknya praktek homoseksual di Romawi, sejarawan Roberto de
Mattei menyimpulkan bahwa homoseks adalah salah satu penyebab runtuhnya
kekaisaran Romawi. Homoseksual dalam penilaiannya, adalah kebiasaan
bururk menular yang menjangkiti orang-orang “baik” di Roma.
Tidak hanya itu, maraknya perbudakan hasil penaklukan Romawi membuat
anak-anak yang memiliki paras menawan sebagai komoditi utama. Bahkan
kebanyakan kaisar Romawi dicatat sebagai konsumen utama dari komoditas
ini. Divus Julius, Divus Augustus, Tiberius, Caligula, dan Nero adalah
pelaku pedophilia terbuka dengan melibatkan anak-anak dalam pesta nista
mereka.
Saat Kristen mulai berkuasa di Eropa, praktek-praktek penyimpangan
mulai banyak tereduksi. Terutama dengan dukungan kekuatan hukum dari
negara. Corpus Juris Civilis of Justinian I (Hukum Jusatinian) pada
tahun 529 memberi sanksi hukuman mati bagi pelaku homoseksual di Romawi.
Sementara di Inggris, Raja Henry VIII menerapkan Buggery Act (1533)
yang menghukum mati pelaku homoseksual.
Surutnya kekuasaan Gereja menjelang era Renaissance membuat
praktik-praktik penyimpangan seksual kembali marak. Walau belum terbuka,
perilaku homoseksual cukup berkembang dikalangan bohemian dan seniman
zaman itu. Leonardo da Vinci adalah salah satunya.
Era Modern dan Potensi Pengulangan Sejarah Kelam Barat
Para pengusung ide-ide liberal dan LGBT lewat berbagai alat
propagandanya menyatakan bahwa toleransi terhadap penyimpangan seksual
seperti homoseksual dan lesbian adalah tanda kemajuan. Tidak jelas
kemajuan macam apa yang dimaksud. Padahal jika kembali menilik sejarah,
LGBT hanyalah bentuk pengulangan sejarah kelam.
Sadar bahwa mereka tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Para
pengusung LGBT memainkan strategi propaganda. Stigma homophobia adalah
salah satu senjata mereka.
Mengikuti logika manta Presiden AS, George Bush “you are either with
us or against us”, pejuang liberal dan LGBT tidak segan menempelkan
predikat homophobia atau homophobic kepada siapa saja yang menentang
atau hanya sekedar mengkritisi gerakan mereka.
Padahal, secara bahasa, kata homophobia ini bermasalah. Jika phobia
adalah permasalahan psikologis yang terkait dengan rasa takut dan dapat
dibuktikan secara empiris, homophobia tidak pernah dapat dijelaskan
secara empiris. Rata-rata mereka yang mendapat stigma homophobic adalah
mereka yang anti terhadap homoseksual tanpa memiliki rasa takut yang
spesifik dengan kaum homoseks.
Alih-alih bermakna takut, kata phobia dalam homophobia dirusak
maknanya menjadi benci atau anti.Bukan cuma kata phobia yang mereka
rusak. Terminologi seperti cinta, hak asasi, pernikahan, dan etika
mereka buat ulang maknanya untuk mendukung klaim mereka.
Ketika aktivis liberal dan LGBT sibuk merusak konsep-konsep makna
yang mempengaruhi cara berfikir kita, di sisi lain budaya permisif yang
berkembang massif memberi dampak negative lainnya.
Penulis dan editor Newsweek.com, Abigail Jones dalam sebuah artikel
memaparkan bahwa remaja Amerika dengan kisaran umur 10 sampai 12 tahun
makin akrab dengan bahasan seksual yang vulgar .Menurut Abigail,
kecenderungan ini sebagain besar disebabkan oleh efek media yang terus
mengeksploitasi seksualitas demi keuntungan mereka.
Jika di Barat, icon remaja wanita seperti Miley Cyrus sudah berani
tampil tanpa busana di depan publik, region asia, diwakili Jepang
tampaknya tidak mau kalah.
Dengan dalih fans service, banyak sekali artis artis belasan
tahun di Jepang menjalani sesi pemotretan dengan pakaian serba minim.
Contoh paling nyata adalah idol grup AKB 48 yang sampai resmi meliris
video klip para anggotanya hanya dengan mengenakan lingerie.
Kalau konsep-konsep pemikiran sudah rusak, perilaku anak-anak makin
liar akibat media massa, dan kita yang memberi nasehat dan meluruskan
dapat stigma macam homophobia karena dianggap anti kemajuan, bukan
mustahil, perilaku macam menyimpang macam Emon dan petugas kebersihan di
JIS akan dianggap normal 10 tahun kemudian.
Dari sejarah kita belajar, bahwa budaya hedonisme a la orang-orang
Yunani dan kaisar-kaisar Romawi kini marak dipraktekan kembali. Walau
terkesan wah dan mempesona, baik peradaban Yunani dan Romawi menyimpan
kebobrokan moral yang luar biasa.
Akankah kita membiarkan anak-anak kita menjadi korban sekaligus
pelaku penyimpangan seksual yang marak saat ini? Pertanyaan ini
tentutnya tidak memerlukan jawaban lisan, sebab kenyataan lapangan
membuktikan bahwa kita sebagai orang tua sering terlambat menyadari
kerusakan zaman.
Mari kita tanamkan konsep-konsep akhlak dengan baik dan benar pada
anak-anak kita, bentengi mereka dengan nasihat dan kasih sayang dari
pengaruh buruk lingkungan dan media. Semoga kelak di akhirat, kita tidak
termasuk sebagai orang tua yang lalai mengemban amanat bernama “anak”.(Sumber : Islampos.com)
0 komentar:
Post a Comment